EDUKADI NEWS – Jawa Barat, Menarik sebetulnya saat Kita coba mencermati kunjungan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kampus Binus baru-baru ini.
Liputan media menampilkan, diskusi dengan mahasiswa seputar teknologi, hingga penyebutan pentingnya peran generasi muda dalam transformasi digital.
Langkah positif menghubungkan negara dengan kampus swasta bertaraf internasional adalah simbol kemajuan. Meskipun, wajar jika kemudian muncul pertanyaan kritis seputar apakah kunjungan ini bagian dari desain kebijakan serius, atau sekadar panggung untuk menambal kesenjangan narasi? Simbol Masa Depan atau Gimik Teknokratis?
Apresiasi sebetulnya terhadap langkah diplomasi kepemimpinan muda sebagai positioning strategis menuju 2029. Lebih lagi isu penting yang diboyong wapres yaitu ‘bonus demografi dan peluang generasi muda’. Narasi ini tidak asing bagi publik Jawa Barat, Provinsi dengan populasi usia produktif tertinggi di Indonesia. Mengintai pertanyaan serius, apakah negara dan pemerintah daerah sudah siap mengelola lonjakan jumlah anak muda ini? Atau justru kita sedang berjalan ke arah krisis sosial-ekonomi yang lebih dalam?
Mengutip ‘Nalar Kebijakan’ (Riswanda, 2024), ditegaskan bahwa kebijakan publik yang kuat lahir dari perenungan kritis dan pandangan sistemik terhadap masalah. Artinya, sekadar menyebut “bonus demografi” tidak cukup. Jauh lebih penting, kebijakan praktis apa yang mendukung pengembangan potensi anak muda, khususnya di Jawa Barat? Sebagai provinsi dengan lebih dari 50 juta penduduk, Jawa Barat menghadapi tantangan ganda: urbanisasi cepat di wilayah metropolitan seperti Bandung Raya dan Bogor, serta ketertinggalan pembangunan di wilayah selatan seperti Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Di sini, penting bagi pejabat seperti Wapres Gibran untuk tidak hanya bicara peluang, tapi memahami peta masalah yang nyata, yaitu ketimpangan pendidikan, minimnya akses pelatihan vokasi, dan tingginya pengangguran muda.
Diskusi teknologi, AI, dan kesiapan SDM di lingkungan unggul seperti Binus, boleh saja dilakukan meski beresiko bias representasi. Lebih tepat bahasan transformasi digital dan kompetensi masa depan justru diolah pada tempat di mana teknologi masih jadi barang langka dan literasi digital belum menyentuh akar. Misalnya, SMK di Subang, madrasah di Cianjur, atau pesantren di Garut — apakah langkah-langkah Wapres dibangun atas refleksi realitas dan kebutuhan sistemik, atau hanya simbol dari teknokrasi tanpa distribusi?
Riset dan Realitas Jawa Barat
Paradigma Penelitian Kebijakan (Riswanda 2024) dapat menjahit riset dan realitas Jawa Barat. Kebijakan publik harus ditopang oleh riset yang interdisipliner dan partisipatif. Program pelatihan kerja, inkubator wirausaha muda, atau digitalisasi pendidikan masih belum merata. Jika Kita menelisik wilayah seperti Sukabumi atau Pangandaran, contoh, tampak betapa jauhnya realitas dari narasi ‘generasi unggul’ yang digaungkan pemerintah pusat. Pertanyaannya, apakah Wapres dan tim membawa serta riset ndus saat merancang intervensi kebijakan? Ataukah ini sekadar strategi komunikasi generasi muda yang belum menyentuh akar masalah?
A.I dan Masa Depan Jawa Barat: Siap atau Tidak?
Menuju 2045, isu kecerdasan buatan (AI) tidak bisa lagi dianggap mewah. Ia adalah realitas baru yang akan mendisrupsi semua sektor: industri, pendidikan, pelayanan. Jawa Barat memiliki potensi besar: industri-industri Karawang, Bekasi, dan Cikarang bisa menjadi tulang punggung ekonomi digital jika ditopang oleh SDM yang siap teknologi. Kendati fakta di lapangan berkata lain. Banyak SMK di Jawa Barat masih berkutat dengan kurikulum lama dan minim infrastruktur digital. Program digitalisasi sekolah belum menyentuh desa-desa. Padahal, jika AI ingin jadi bagian dari strategi 2045, maka investasi terbesar bukan pada software, platform digital baru dan pemutakhiran perangkat teknologi — tapi pada manusia.
Menurut data PDDikti 2023, Jawa Barat memiliki 559 perguruan tinggi dengan total 745.110 mahasiswa terdaftar. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 12 perguruan tinggi negeri yang menampung sekitar 214.591 mahasiswa, sementara sisanya tersebar di 547 perguruan tinggi swasta. Statistik Pendidikan Tinggi Jawa Barat menampilkan potensi sekaligus ketimpangan calon genre Indonesia Emas. Rata-rata lama sekolah (RLS) di Jawa Barat pada tahun 2023 tercatat sebesar 8,83 tahun, yang berarti sebagian besar penduduk berusia 25 tahun ke atas hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMP. Sementara itu, harapan lama sekolah (HLS) mencapai 12,68 tahun, menunjukkan adanya aspirasi untuk mencapai pendidikan tinggi, namun belum diimbangi dengan realitas akses dan barangkali cukupnya kualitas pendidikan. BPS bahkan mencatat bahwa terdapat 658.831 anak di Jawa Barat yang tidak bersekolah, terdiri dari 164.631 anak yang putus sekolah, 198.570 anak yang lulus namun tidak melanjutkan, dan 295.530 anak yang belum pernah bersekolah. Angka ini mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan bonus demografi yang produktif.
Saat Wapres Gibran bicara tentang generasi muda dan masa depan, kita menantikan kebijakan yang tidak berhenti di podium. Jalan Panjang menuju 2045 seharusnya diisi dengan arah kebijakan yang mendalam, berbasis riset lokal, terintegrasi dengan kebutuhan daerah, dan disiapkan menghadapi dunia yang serba digital dan berubah cepat. Gagasan tanpa infrastruktur adalah omong kosong. Tapi infrastruktur tanpa manusia yang siap, adalah bencana yang ditunda.
*Akselerator Kebijakan — Associate Professor
FISIP UNTIRTA, CDPD FISIP UNPAD, FISIP UNPAR