EDUKADI.COM – Banyak kampus, termasuk di dunia Barat, kini mulai mengakui pentingnya melihat mutu universitas dari beragam perspektif – termasuk kualitas pengajaran, kesejahteraan mahasiswa, dan dampak kampus terhadap masyarakat – yang tak melulu sebagai ajang meraup prestise. Para lembaga dan pemerhati pemeringkatan juga banyak melakukan perubahan terhadap metodologi penilaian mereka supaya lebih inklusif dan memperhatikan keragaman kampus dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan dan kelemahan dari sistem pemeringkatan universitas adalah argumen untuk memperbaikinya, bukan menghapusnya.
Salah satu kriteria dalam Times Higher Education Ranking, misalnya, adalah survei reputasi terkait kualitas pengajaran yang dirasakan mahasiswa maupun penyedia lapangan kerja – termasuk dunia usaha, organisasi sosial masyarakat, ataupun lembaga pemerintahan.
Ini seiring dengan makin gencarnya tuntutan dunia akademik supaya penjaminan mutu universitas mempertimbangkan apakah mahasiswa merasa dilayani dengan baik atau bahagia menjalani hidup di kampus. Jika survei menunjukkan kepuasan, maka peringkat kampus akan tinggi.
Beberapa pemeringkatan seperti QS Employability Ranking juga menilai apakah luaran (output) suatu universitas – dari publikasi riset hingga kualitas lulusannya – dapat berkontribusi dalam dunia usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini tentu termasuk pekerjaan-pekerjaan pelayanan publik seperti oleh organisasi nirlaba.
Banyak sistem pemeringkatan kini bahkan melakukan penilaian terhadap seberapa baik pembelajaran di suatu kampus.
Kajian dari UNESCO menceritakan bagaimana Times Higher Education, menyusul kritik dari dunia pendidikan tinggi global, sejak 2009 merombak metode pemeringkatannya agar lebih inklusif dan mempertimbangkan kondisi kampus di negara non-Barat.
Ini termasuk menerapkan pembedaan bobot di kriteria-kriteria tertentu – seperti penyesuaian paritas daya beli (purchasing power parity) per negara untuk kriteria pendapatan universitas, serta penyesuaian volume sitasi riset secara regional bagi kampus di negara non-Bahasa Inggris yang lebih susah menerbitkan riset di jurnal-jurnal internasional terbaik.
Mereka juga menerbitkan pemeringkatan dampak (impact ranking) kampus untuk 17 kategori Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dalam pemeringkaan untuk kesetaraan gender, misalnya, Times Higher Education menilai seberapa berimbang proporsi perempuan yang terakomodasi oleh universitas.
Benarkah sistem pemeringkatan adalah bentuk imperialisme?
Sejauh ini, nampaknya tuntutan para kritikus pemeringkatan sekilas sama dengan yang sedang dilakukan lembaga pemeringkat itu sendiri.
Tetapi, semangat pembebasan dari imperialisme kultural yang kerap mereka gaungkan, kemudian melebar ke kritik terhadap dominasi Bahasa Inggris sebagai privilese kampus Barat dalam pemeringkatan.
Apakah artinya pemeringkatan harus kita perbaiki agar lebih memperhatikan publikasi yang terbit dalam bahasa lain? Ataukah sebaiknya menghilangkan sistem ini karena menimbulkan “Matthew effect”, ketika kampus kaya akan terus mengakumulasi kapital untuk menjadi universitas terbaik dan kampus yang miskin modal akan terus berada di level bawah?
Alih-alih menganggap Bahasa Inggris sebagai imperialisme bahasa, kampus-kampus Indonesia dapat menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat pembebasan dan lingua franca (bahasa penyatu) dalam diskursus akademik, serta memimpin riset kolaborasi dengan kampus lain.
Dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dua asas tertinggi adalah kebenaran ilmiah dan penalaran. Perguruan tinggi yang berlandaskan agama pun tetap menghormati kedua asas ini karena kampus adalah pusat pemikiran. Wujud asas ini bisa kita ukur – salah satunya adalah luaran berupa hasil riset yang sesuai dengan kebenaran ilmiah dan penalaran.
Filsafat dan nilai lain yang tidak terlihat (intangible) seperti aspek spiritualitas tentu saja merupakan hal yang penting. Tetapi, karena sifatnya yang tidak terlihat, memasukkannya sebagai alat untuk melihat kekurangan dari pemeringkatan adalah hal yang tidak tepat.
Pemeringkatan universitas adalah sesuatu yang harus terus kita perbaiki. Ia bukan pula satu-satunya pertimbangan untuk menilai kualitas kampus.
Sikap antagonisme terhadap perguruan tinggi Barat dalam wacana pemeringkatan, budaya publikasi internasional, atau dominasi Bahasa Inggris dalam komunikasi ilmiah, menurut saya adalah kesalahpahaman yang berlebihan. Ketimbang mengecap sistem pemeringkatan kampus sebagai wujud penindasan, berbekal kritik dari dunia akademik, kita justru punya peluang untuk memperbaikinya.
Penulis : Muhammad Yusuf, S,Sos ., M.M
Dosen Ilmu Administrasi Bisnis STIA Bandung(red)