EDUKADI NEWS – Kuningan
Minggu 7 Desember 2025. Kondisi di kaki Gunung Ciremai menjadi cermin nyata kegagalan implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999). Paradigma Hak Menguasai Negara (HMN) yang diusung UU ini, yang secara filosofis dituduh mengulang praktik kolonial domein theorie, secara faktual menciptakan ketidakadilan, konflik tenurial, dan menghambat potensi ekonomi masyarakat lokal di Kuningan.
Kriminalisasi Petani dan Penguasaan yang Timpang
Kegagalan UU Kehutanan dalam mencapai “kemakmuran rakyat” terlihat jelas dari praktik penegakan hukum yang diskriminatif. Di satu sisi, petani hutan dan Kelompok Tani Hutan (KTH) di kawasan Ciremai rentan terhadap kriminalisasi berlebihan (overcriminalization) dan dilarang mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini merupakan manifestasi dari hukum yang “tajam ke bawah”, di mana delik pidana yang luas menargetkan masyarakat kecil.
Sebaliknya, penguasaan HHBK di lapangan justru didominasi oleh satu entitas paguyuban tanpa kejelasan izin formal, yang diakui oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC). Paguyuban ini mengklaim teritori zona produksi dan rehabilitasi, memaksa KTH untuk berafiliasi dengannya. Praktik ini mereplikasi sistem perizinan yang timpang ala UU 41/1999, di mana BTNGC sebagai representasi negara de facto mendelegasikan penguasaan sumber daya kepada aktor dominan non-negara, alih-alih memberdayakan subjek hukum desa yang sah.
Konflik Tenurial dan Pembatasan Ruang Gerak Desa
Masalah semakin mendalam ketika menyentuh isu batas wilayah. Proses pengukuhan kawasan hutan oleh negara (yang kini dipegang BTNGC) masih mencerminkan praktik sewenang-wenang dan bias teknokratis dari UU 41/1999. Banyak wilayah administrasi desa di kaki Ciremai yang secara historis dikelola masyarakat kini dicaplok dan dimasukkan secara sepihak ke dalam wilayah TNGC.
Ketika desa melakukan pemetaan batas, sebagian besar area desa terbentur klaim teritorial BTNGC. Konflik tenurial ini secara langsung membatasi ruang gerak desa dalam mengembangkan potensi ekonomi berbasis konservasi.
Pengabaian terhadap keberadaan sosiokultural desa dan hukum adat ini adalah bukti nyata kegagalan UU Kehutanan yang tidak mengakui hak-hak masyarakat, sehingga menghambat inisiatif lokal untuk mencapai kemandirian.
Bias Pembangunan dan Pengabaian Entitas Lokal
Kegagalan ini berlanjut pada kebijakan pengelolaan sumber daya dan investasi. Di satu sisi, pembangunan banyak diarahkan pada proyek wisata skala besar (seperti kasus Arunika) yang seringkali mengabaikan kaidah-kaidah lingkungan, karena BTNGC fokus pada nilai tambah ekonomi jangka pendek. Di sisi lain, KTH, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Lembaga Keuangan Mikro Desa (KDMP) yang merupakan entitas usaha legal di bawah payung hukum desa justru diposisikan di pinggiran.
BTNGC cenderung lebih mempertimbangkan entitas usaha skala besar (korporasi) dalam pengelolaan sumber daya penting seperti air, sementara KTH dipinggirkan dari pengelolaan HHBK. Hal ini menegaskan bahwa implementasi Hak Menguasai Negara (HMN) di Ciremai telah diarahkan untuk kepentingan korporasi, dan bukan untuk memfasilitasi subjek hukum lokal, sehingga menggagalkan tujuan kemakmuran rakyat yang berkeadilan di tingkat desa.
Secara keseluruhan, kondisi di Kuningan menunjukkan bahwa UU 41/1999 telah menciptakan lingkungan hukum yang diskriminatif, meminggirkan masyarakat adat dan petani, dan menghambat inisiatif desa dalam membangun ekonomi berbasis konservasi yang berkelanjutan.
(RD/Jack)













