EDUKADI NEWS – Abdul Wachid B.S. (Guru Besar Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia UIN Saizu Purwokerto)
Saya masih ingat satu kejadian di tahun pertama saya mengajar. Seorang siswa duduk diam sepanjang semester. Nilainya lumayan, kehadirannya rajin, tapi ia seperti tak pernah benar-benar hadir. Tak pernah angkat tangan. Tak pernah berdebat. Tak pernah salah, tapi juga tak pernah sungguh-sungguh terlihat hidup.
Suatu hari, saya ajak dia bicara seusai pelajaran. Ia berkata pelan, “Saya takut salah, Pak. Takut ditertawakan teman-teman.” Kalimat itu sederhana, tapi menohok. Saya paham, bahwa ada pelajaran penting yang belum tertulis di buku, belum tertera di jadwal, tapi sangat dibutuhkan oleh anak-anak di sekolah: keberanian.
Sekolah sering dipersepsikan sebagai tempat untuk belajar pengetahuan dan keterampilan. Tapi ada yang lebih mendasar dan kadang terabaikan: bagaimana sekolah menjadi ruang yang menumbuhkan keberanian. Keberanian untuk bertanya, keberanian untuk berbeda, keberanian untuk jujur pada diri sendiri, dan bahkan keberanian untuk gagal.
Tanpa keberanian, ilmu sering hanya menjadi hafalan. Kreativitas tinggal wacana. Dan siswa hanya menjadi pengikut, bukan pencari. Mereka sibuk mengejar nilai, tapi kehilangan daya untuk menyuarakan isi hatinya. Mereka belajar menjawab, tapi tak terbiasa bertanya.
Di sinilah peran guru dan sekolah sangat menentukan. Kita tak hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga menciptakan iklim belajar yang aman. Aman untuk mencoba, aman untuk salah, dan aman untuk tumbuh. Aman untuk tidak sama.
Saya teringat seorang murid lain yang suka menulis puisi tapi menyembunyikannya dari teman-temannya. Ia takut dianggap aneh. “Teman-teman saya sukanya basket, TikTok, atau main Mobile Legends. Kalau tahu saya suka puisi, nanti mereka bilang saya sok puitis,” katanya sambil tertawa kecil. Tapi saya tahu itu tawa yang menutupi kecemasan.
Saya baca puisinya. Jujur, indah, dan penuh empati. Saya undang ia membaca di depan kelas. Awalnya ragu, gemetar. Tapi setelah ia selesai, kelas hening. Lalu terdengar tepuk tangan. Beberapa siswa mulai bertanya, “Kamu belajar nulis dari mana?” Sejak itu, dia mulai percaya pada dirinya sendiri. Sejak itu, puisinya bukan lagi rahasia, melainkan kekuatan.
Kadang, keberanian tumbuh bukan dari pidato motivasi, tapi dari satu pengalaman kecil yang membuat seseorang merasa: aku diterima, aku dihargai. Maka tugas sekolah bukan membentuk anak menjadi seragam, tapi menyediakan ruang agar setiap anak bisa menemukan bentuk keberaniannya sendiri.
Ada anak yang berani karena terbiasa didukung. Tapi ada juga yang justru berani karena pernah diremehkan dan ingin membuktikan diri. Ada pula yang diam bukan karena tak mampu, tapi karena belum menemukan tempat yang membuatnya merasa aman untuk bersuara. Apa pun latar belakangnya, keberanian tidak muncul begitu saja. Ia perlu ditumbuhkan—dengan kesabaran, dengan teladan, dan dengan kasih.
Kita hidup di zaman yang penuh tekanan: tekanan nilai, tekanan ekspektasi, tekanan perbandingan sosial di media. Banyak anak yang tampak baik-baik saja, tapi menyimpan cemas yang tak terucap. Mereka butuh guru, sahabat, atau siapa pun yang bisa menjadi jangkar: yang mengingatkan bahwa gagal bukan aib, bahwa mencoba itu lebih penting daripada sempurna.
Saya percaya, pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan. Dan keberanian adalah bagian dari kebebasan itu. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat, untuk memilih jalan hidup, untuk mengatakan “saya tak setuju” dengan cara yang santun. Di situlah pendidikan menyentuh sisi terdalam kemanusiaan.
Sayangnya, kadang sekolah malah jadi tempat yang menakutkan. Takut salah menjawab, takut ditertawakan, takut tak sesuai ekspektasi. Padahal seharusnya sekolah menjadi tempat di mana setiap anak belajar tentang dirinya: apa yang ia cintai, apa yang ia perjuangkan, dan bagaimana ia bisa hidup jujur dengan itu.
Saya ingin sekolah menjadi tempat yang tidak hanya sibuk menyiapkan siswa menghadapi ujian nasional, tapi juga menyiapkan mereka menghadapi kehidupan nyata—yang jauh lebih kompleks, tak selalu adil, dan sering kali membingungkan. Dan untuk itu, keberanian lebih dibutuhkan daripada rumus.
Keberanian juga bukan soal tampil di depan umum atau menjadi ketua OSIS. Ia bisa tumbuh dari hal kecil: berani mengakui kesalahan, berani minta maaf, berani membantu teman yang sedang kesulitan, atau berani mengatakan “tidak” saat diajak berbuat salah.
Dalam dunia yang terus berubah ini, anak-anak kita tak hanya perlu pintar. Mereka juga perlu kuat. Dan kekuatan itu, bukan hanya otot atau kecerdasan logika, tapi juga hati yang berani dan pikiran yang merdeka. Anak yang berani bukan yang tak punya takut, melainkan yang tahu caranya tetap melangkah di tengah ketakutan.
Maka marilah kita bersama-sama, sebagai guru, orangtua, dan sahabat, menjadikan sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat bertumbuh. Tempat di mana keberanian bukan cuma kata dalam pidato motivasi, tapi nyata dalam sikap sehari-hari.
Karena sejatinya, pelajaran paling berharga sering tak tercetak di buku, tapi tertanam