https://picasion.com/

Democratic Recession dan Ancaman Terhadap Aktivis: Ketika Kepala Pasar Jadi Simbol Kekuasaan Represif di Tingkat Lokal

Oleh : Panji Ilham Haqiqi

Fenomena democratic recession atau kemunduran demokrasi global bukan lagi sekadar istilah akademik. Konsep yang dipopulerkan oleh Larry Diamond ini kini menemukan wajah nyatanya di pasar-pasar tradisional, tepatnya di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Salah satu akun TikTok bernama @lenterahati_78 baru-baru ini viral karena mengunggah video yang menyuarakan keresahan para pedagang pasar lama Lawawoi. Dalam keterangannya, terungkap dugaan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh Kepala Pasar, yang meminggirkan para pedagang lama karena mereka menolak membayar sejumlah pungutan yang tidak jelas dasar hukumnya.

Viena Silka Nawara bukan hanya seorang pengguna TikTok biasa. Ia adalah Ketua Inspirasi Wanita Nusantara Indonesia (IWANI) DPC Kabupaten Sidrap, dan juga merupakan anggota aktif tim investigasi LSM Triga Nusantara Indonesia (Trinusa) DPD Sulawesi Selatan. Dalam beberapa temuan investigatif, Viena menyampaikan bahwa terdapat beragam selebaran surat iuran dan pungutan kepada pedagang yang tidak merujuk pada Perda atau Pergub yang sah, terutama yang berkaitan dengan proses relokasi Pasar Lawawoi.

Hal ini mengarah pada praktik yang disebut Larry Diamond sebagai “authoritarian residue”, yaitu sisa-sisa praktik otoriter dalam sistem demokrasi lokal, di mana kekuasaan digunakan untuk menekan warga, khususnya mereka yang vokal menyuarakan ketidakadilan.

Antara Aktivisme dan Represi Kekuasaan

Viena kini mengalami serangkaian tekanan, mulai dari diskriminasi sosial hingga upaya pembungkaman secara halus. Hal ini mengafirmasi tesis Diamond dalam bukunya “The Spirit of Democracy”, bahwa kemunduran demokrasi kerap disertai dengan pelemahan perlindungan terhadap aktor-aktor masyarakat sipil yang berani melawan arus.

Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, keberadaan aktivis dan LSM adalah bagian dari fungsi kontrol sosial dan instrumen partisipasi publik. Penindasan terhadap aktivis seperti Viena mencederai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Selain itu, praktik pungutan tanpa dasar hukum jelas juga berpotensi melanggar:

Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan,

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,

Dan bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli).

Perlawanan Digital dan Kesadaran Kolektif

Apa yang dilakukan oleh Viena merupakan bentuk perlawanan digital terhadap otoritarianisme lokal. Di tengah lemahnya kanal formal untuk menyuarakan ketidakadilan, media sosial menjadi ruang civil society baru. Ia menggunakan platform digital bukan untuk sensasi, tapi sebagai alat advokasi.

Kita sebagai publik tidak bisa diam. Jika demokrasi dibiarkan merosot di tingkat lokal, maka rusaklah fondasi negara ini. Gerakan yang dimulai dari pasar tradisional seperti ini bisa menjadi pemantik kesadaran bahwa kekuasaan publik bukan milik segelintir elit, tapi hak seluruh rakyat.

Democratic recession bukan hanya ancaman global, tapi telah masuk ke pasar-pasar kita, ke ruang sosial kita, dan bahkan ke kebijakan yang menyangkut perut rakyat kecil. Kasus Viena Silka Nawara adalah panggilan untuk kita semua: apakah kita akan tetap diam saat aktivis ditindas demi kepentingan kekuasaan?

https://picasion.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://picasion.com/