https://picasion.com/
NEWS  

PENCERAHAN HUKUM/LEGAL OPINION (LO)
Terkait Tidak Diaturnya Penyadapan dalam KUHAP Baru Dan Rencana Pengaturan Melalui Undang-Undang Khusus.

EDUKADINEWS – Kuningan
Dalam pemberitaan publik, Ketua Komisi III DPR RI menegaskan bahwa KUHAP baru tidak memuat ketentuan mengenai penyadapan, dan seluruh aspek penyadapan akan diatur secara khusus melalui undang-undang tersendiri. Langkan pembentukan undang-undang ini menimbulkan sejumlah implikasi hukum yang penting, baik bagi aparat penegak hukum, masyarakat, maupun sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

Secara normatif, keputusan untuk memindahkan pengaturan penyadapan ke dalam undang-undang tersendiri menunjukan adanya kehendak pembentuk undang-undang untuk memisahkan secara tegas mekanisme penyadapan dari tindakan penyidikan lainnya seperti penangkapan, penggeledahan, atau penyitaan yang diatur secara komprehensif dalam KUHAP.

Penyadapan dianggap sebagai tindakan intrusif terhadap hak privasi, sehingga pengaturannya membutuhkan dasar hukum yang lebih rinci, lebih komprehensif, dan lebih ketat daripada yang diberikan oleh KUHAP sebagai hukum acara pidana umum.

Namun langkah legilasi ini juga menciptakan masa transisi yang cukup signifikan. Dengan tidak adanya ketentuan penyadapan di KUHP baru, tetapi belum tersedianya undang-undang khusus penyadapan, maka terjadi kekosongan norma (legal vacuum) yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam keadaan seperti itu, aparat penegak hukum yang memerlukan tindakan penyadapan misalnya dalam kasus korupsi, narkotika, terorisme, atau kejahatan siber beresiko tidak memiliki dasar hukum yang memadai untuk melakukan tindakan tersebut.

Ketidakpastian ini dapat berujung pada adanya risiko bahwa bukti hasil penyadapan dianggap tidak sah, bertentangan dengan due process of law, dan dapat dikesampingkan oleh hakim (exclusionary rule). Pada titik tertentu, hal ini dapat memperlemah efektivitas penegak hukum.

Di sisi lain, pemindahan pengaturan penyadapan ke dalam undang-undang khusus memiliki potensi positif apabila rancangan undang-undang tersebut disusun dengan standar tinggi perlindungan hak asasi manusia. Sebagai tindakan yang sangat intrusive terhadap privasi warga negara, penyadapan idealnya diberi Batasan ketat berupa persyaratan izin pengadilan, mekanisme audit, pembatasan subjek dan objek penyadapan, pengaturan jangka waktu, dan mekanisme penghancuran data yang tidak relevan.

Jika undang-undang khusus penyadapan mengadopsi standar-standar tersebut, maka Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait perlindungan privasi.

Akan tetapi, keberhasilan sistem baru ini sangat bergantung pada kualitas regulasi yang akan dibentuk. Jika undang-undang penyadapan kelak disusun tanpa standar pengawasan yang memadai, maka potensi penyalahgunaan justru dapat meningkat karena penyadapan tidak lagi diikat oleh mekanisme KUHAP dan bisa diberi ruang lebih luas di undang-undang sectoral yang kurang ketat. Hal ini dapat menciptakan risiko “over surveillance state” yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip minimaliasasi intervensi negara terhadap hak asasi warga. Karena itu, proses penyusunan undang-undang khusus tersebut dilakukan secara transparan, melibatkan publik dan ahli hukum, serta tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Dalam kacamata sistem peradilan pidana, keberadaan undang-undang penyadapan yang berdiri sendiri juga dapat menghadirkan tantangan sinkronisasi. Perlu ada penyesuaian antara kewenangan penyidik yang diatur dalam KUHAP baru dengan kewenangan yang diatur dalam undang-undang penyadapan, agar tidak terjadi celah yang membingungkan, tumpeng tindih kewenangan, atau bahkan konflik norma. Apabila tidak diselaraskan sejak awal, aparat penyidik dapat mengalami kesulitan dalam menentukan prosedur mana yang berlaku, dan pada akhirnya justru membuka ruang bagi pembela atau terdakwa untuk menggugat sah atau tidaknya suatu tindakan penyadapan.

Dari perspektif hak konstitusional, langkah untuk mengatur penyadapan melalui undang-undang tersendiri patut diapresiasi, karena memberikan ruang bagi pembentukan aturan yang lebih detail dan spesifik sesuai prinsip legalitas. Mahkamah Konstitusi telah berulang kali menekankan bahwa pembatasan hak asasi manusia, termasuk hak privasi dan kerahasiaan komunikasi, hanya boleh dilakukan oleh undang-undang dalam arti formil. Pengaturan di KUHAP selama ini memang tidak cukup memadai untuk memenuhi standar tersebut. Oleh karena itu, adanya undang-undang khusus secara prinsip dapat memperkuat perlindungan privasi masyarakat.

Namun demikian, selama masa transisi ketika undang-undang khusus tersebut belum disahkan, tindakan penyadapan harus benar-benar dibatasi sedemikian rupa agar tidak menimbulkan pelanggaran hak masyarakat atau menimbulkan gugatan hukum di kemudian hari. Aparat penegak hukum perlu berhati-hati untuk tidak melakukan penyadapan kecuali atas dasar undang-undang sektoral yang memang masih berlaku dan telah diakui konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka hasil penyadapan dapat dianggap tidak sah, berpotensi menggugurkan proses penyidikan, dan bahkan menimbulkan tanggung jawab hukum bagi pejabat yang melakukannya.

Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk menempatkan penyadapan di luar KUHAP dan mengatur melalui undang-undang khusus membawa implikasi hukum yang sangat besar. Secara teoritis, langkah ini dapat memperkuat penegakan hukum sekaligus melindungi hak privasi warga negara, namun secara praktis dapat menimbulkan ketidakpastian hukum jika tidak segera ditindaklanjuti dengan pengesahan undang-undang yang baru dan sinkronisasi menyeluruh terhadap peraturan yang ada.

Oleh karena itu, rekomendasi hukum yang dapat diberikan adalah perlunya percepatan pembentukan undang-undang penyadapan dengan standar ketat, transparansi proses legislasi yang melibatkan publik, dan penyusunan pedoman transisi bagi aparat penegak hukum, agar tidak terjadi kekosongan norma dan pelanggaran hak asasi di masa jeda pengaturan.
Kuningan, 20 November 2025. Kantor Hukum,
BAMBANG LISTI LAW FIRM.Advocates, Kurator, Mediator Bersertifikasi MA RI No.93/KMA.SK/VI/2019 & Legal Consultant Hukum.
(RD/Jack)

https://picasion.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://picasion.com/