EDUKADI NEWS – Kuningan
Rabu 19 November 2025. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan oleh DPR memunculkan kekhawatiran serius dari berbagai kalangan, khususnya terkait kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan penangkapan, penahanan, dan operasi penyelidikan seperti penyamaran atau penjebakan (entrapment) sebelum suatu tindak pidana benar-benar dipastikan terjadi. Beberapa organisasi masyarakat sipil, termasuk YLBHI dan ICJR, menilai bahwa kewenangan baru ini berpotensi membuka ruang penyalahgunaan wewenang, terutama jika tidak disertai dengan pengawasan yudisial yang memadai.
Kekhawatiran ini berangkat dari laporan yang menyebutkan bahwa KUHAP hasil revisi memberikan fleksibilitas luas bagi aparat untuk bertindak bahkan pada tahap “dugaan awal”, tanpa mekanisme kontrol yang kuat dari pengadilan.
Secara normatif, sistem peradilan pidana Indonesia berpegang pada prinsip due process of law, yakni perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka dan terdakwa serta kewajiban negara untuk memastikan seluruh tindakan penegakan hukum dilakukan secara proporsional, terukur, dan diawasi.
Pemerintah sebelumnya menyampaikan bahwa revisi KUHAP disusun dengan orientasi memperkuat due process, termasuk dengan memperketat syarat penahanan melalui standar “bukti permulaan” dan beberapa indikator objektif seperti kekhawatiran tersangka melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Namun, meskipun pada tataran teori syarat penahanan diperketat, terdapat ketentuan lain yang berpotensi melemahkan prinsip kontrol peradilan, khususnya jika aparat dapat menahan atau menangkap seseorang lebih awal tanpa batasan prosedural yang jelas.
Ketidakjelasan definisi “bukti permulaan” dalam beberapa ketentuan revisi KUHAP menjadi persoalan yang paling krusial. Jika frasa ini ditafsirkan secara longgar, aparat penegak hukum akan memiliki ruang yang sangat luas untuk melakukan tindakan represif tanpa pembuktian yang memadai.
Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum sekaligus meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap warga yang bahkan belum melakukan tindakan kriminal secara aktual. Selain itu, tindakan seperti penangkapan melebihi satu hari tanpa adanya intervensi hakim—yang disinyalir terdapat dalam draf tertentu—semakin memperlemah jaminan perlindungan bagi tersangka untuk menguji legalitas tindakan tersebut melalui mekanisme praperadilan atau pengawasan yudisial lainnya.
Dari perspektif hak asasi manusia, penahanan dan penangkapan yang dilakukan sebelum adanya kepastian tindak pidana berpotensi melanggar hak kebebasan pribadi, hak atas bantuan hukum, serta hak untuk tidak diperlakukan secara sewenang-wenang oleh negara. Jaminan-jaminan tersebut telah ditegaskan dalam UUD 1945, KUHAP yang masih berlaku saat ini, serta dalam berbagai instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Apabila revisi KUHAP diterapkan tanpa batasan yang jelas dan tanpa pengawasan yang ketat, maka terdapat risiko bahwa aparat dapat bertindak tanpa prosedur hukum yang sepatutnya, sehingga merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pendapat hukum ini menyimpulkan bahwa revisi KUHAP, dalam bentuknya yang sekarang, masih memerlukan evaluasi mendalam, khususnya terhadap ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan represif terlalu luas kepada aparat penegak hukum. Reformasi hukum acara pidana seharusnya memastikan terciptanya keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, penguatan mekanisme kontrol yudisial, penegasan definisi “bukti permulaan”, dan pengaturan secara konkret mengenai batasan-batasan tindakan penyelidikan serta penahanan awal menjadi sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Negara harus memastikan bahwa pembaruan KUHAP tidak justru menciptakan kemunduran dalam perlindungan hak asasi manusia. Revisi yang tidak diiringi dengan jaminan prosedural yang kuat dapat berpotensi melanggar asas-asas fundamental hukum acara pidana serta membuka pintu bagi tindakan represif yang bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Dengan demikian, perbaikan lanjutan, konsultasi publik yang lebih luas, serta pengawasan yang ketat terhadap implementasi lapangan menjadi sangat diperlukan agar revisi KUHAP benar-benar sejalan dengan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak warga negara.
Kuningan, 19 November 2025
Hormat Kami
Kantor Hukum
“BAMBANG LISTI LAW FIRM”
Advocates, Kurator, Mediator Bersertifikasi MA RI No.93/KMA.SK/VI/2019 & Legal Consultant Hukum
(RD/Jack)













